Buah gayam termasuk salah satu produk yang bisa diunggulkan. Buah serupa jengkol tapi beda rasa dan tekstur ini tumbuh di beberapa desa di Kecamatan Merakurak. Secara potensi, buah gayam ini sangat layak untuk dikembangkan menjadi produk unggulan desa yang menjadi bagian dari one village one product (OVOP).
SAKING melekatnya dengan wilayah Kecamatan Merakurak, orang-orang menyebut pohon gayam hanya tumbuh di beberapa desa di Kecamatan Merakurak, seperti Desa Sambongede, Sendanghaji, Sumberejo, dan Sumber. Di beberapa desa lain juga ada, tapi sedikit sekali.
Pohon buah gayam banyak tumbuh di sepanjang aliran sungai. Namun, tidak jarang juga tumbuh menjulang di antara halaman rumah dan pekarangan warga.
Sepintas, pohon gayam ini tidak jauh beda dengan pohon-pohon lain. Daunnya hijau dan rindang. Namun, jika diamati lebih dekat, pohon yang dapat mencapai ketinggian 20 meter (m) dan diameter batang 60 centimeter (cm) ini selalu tumbuh di sekitar aliran air.
Umumnya, buah gayam ini dijadikan cemilan keripik. Rasanya gurih dan membikin ketagihan. Pangsa pasarnya juga cukup luas. Untuk orang Tuban sendiri sudah sangat akrab dengan cemilan yang satu ini. Bagaimana rasanya? Sepertinya sulit diungkapkan dengan kata-kata, kecuali langsung dinikamti sendiri.
Beberapa warga mengaku rerata pohon gayam tumbuh secara alami dari buah gayam yang sudah jatuh. Tidak heran, ketika ada satu pohon gayam yang sudah menghasilkan buah, maka pada sisi kanan dan kiri pohon akan muncul pohon baru yang tumbuh. Selain tumbuh secara alami, pohon gayam juga tidak membutuhkan perawatan. ‘’Tidak perlu pupuk, dibiarkan saja sudah hidup, asal di dekat air,’’ kata Darsipa, salah satu warga Desa Sumberejo yang memiliki belasan pohon gayam.
Diutarakan Darsipa, menunggu masa penan gayam itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Hingga belasan tahun. Meski begitu, tidak perlu repot merawat. Sebaliknya, sejak tumbuh dibiarkan saja hingga besar. ‘’Tahu-tahu sudah besar dan berbuah. Dulu, saat tumbuh anak saya masih kecil, sekarang dia sudah memiliki cucu,’’ katanya sembari menunjuk salah satu pohon yang usianya sudah puluhan tahun.
Disampaikan Darsipa, harga gayam kali ini cukup lumayan, bahkan mungkin sekarang adalah harga yang paling tinggi. Yakni kisaran Rp 40-50 ribu per kilogram (kg). ‘’Mestinya kalau dibudidayakan, ya cukup menguntungkan. Tapi sampai saat ini belum ada warga yang membudidayakan pohon gayam secara serius. Semua tumbuh alami,’’ terang dia.
Disinggung soal kemungkinan besar gayam akan menjadi produk unggulan one village one product (OVOP), wanita 56 tahun ini sangat menyambut baik. Apalagi, jika nanti ada program budidaya dari pemerintah. ‘’Selama ini warga kurang peduli, karena memang (pohon gayam, Red) ini kurang menjanjikan, tapi jika ada rencana dari pemerintah (menjadikan gayam sebagai produk unggulan, Red), kami sangat menyambut baik,’’ katanya.
Diungkapkan Darsipa, dalam beberapa tahun terakhir ini pohon gayam banyak berkurang. Itu karena banyak program pembangunan drainase yang harus mengorbankan pohon-pohon gayam di tepi aliran sungai. ‘’Kalau memang nanti benar gayam akan dijadikan produk unggulan lokal, ya semoga banyak yang melakukan budidaya dan warga semakin sejahtera,’’ harapannya.(fud/tok)