TUBAN, Radar Tuban – Sejak pekan terakhir, di tepi jalan raya Bojonegoro—Jatirogo, persisnya di Dusun Bedrek, Desa Selogabus, Kecamatan Parengan berdiri banyak lapak penjual bengkoang.
Selogabus merupakan salah satu sentra tanaman bengkoang di Tuban. Panen raya tanaman ini biasanya setiap memasuki pancaroba.
Di sepanjang tepi jalan Bojonegoro-Jatirogo, bengkoang dijual per ikat. Untuk ukurang sedang dan kecil harganya Rp 10-13 ribu per ikat dan Rp 20 ribu per ikat untuk ukuran besar.
Kasri, salah satu pedagang bengkoang mengatakan, pembeli paling ramai pada sore hari.
Sri sapaannya mengungkapkan, bengkoang merupakan budidaya musiman yang hanya panen setahun sekali. Selain dijual di sepanjang tepi jalan, bengkoang juga dijual di pasar-pasar tradisional di Tuban, Bojonegoro, dan sejumlah kabupaten lain di Jatim.
”Semua kulakan dari Bedrek sini,’’ ujar perempuan 47 tahun itu kepada Jawa Pos Radar Tuban.
Kepala Seksi Pengelolaan Lahan dan Pengembangan Sarana Pertanian Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKP3) Tuban Linggo Indarto membenarkan, Kecamatan Parengan merupakan habitat buah bengkoang di Bumi Ronggolawe.
Menurut dia, terdapat tiga desa yang menjadi pusat budidaya tanaman tersebut, yakni Desa Mojomalang, Suciharjo, dan Selogabus.
Linggo menyampaikan, bengkoang tidak ditanam secara masif oleh masyarakat setempat karena bukan tanaman pokok.
‘’Bengkoang hanya sampingan saja,’’ jelasnya.
Karena sampingan, bengkoang hanya ditanam di tegalan yang kering, tidak subur, dan jauh dari sumber air. Biasanya, petani menanam bengkoang di awal musim penghujan dan hanya mengandalkan pengairan air hujan. Masa tanam hingga panen bengkoang cukup singkat, sekitar 4–5 bulan saja.
‘’Tanam di awal musim hujan, akhir musim hujan sudah panen. Biasanya begitu,’’ ujarnya.
Selain hanya sampingan, kata Linggo, bagi petani di Desa Mojomalang, Suciharjo, maupun Selogabus, bengkoang merupakan tanaman histori. Masyarakat setempat meneruskan budaya menanam dari para pendahulunya. (sab/ds)