Meski memiliki pengertian sama, antara ngopi dan nongki bisa memiliki arti yang berbeda di kalangan anak muda. Ngopi identik dengan rutinitas menghabiskan waktu di warung kopi (warkop). Sedangkan nongki adalah bahasa gaul dari nongkrong. Istilah ini sering digunakan untuk rutinitas di kafe atau coffee shop yang dianggap memiliki kasta lebih tinggi karena harganya lebih mahal.
——————————————————
ISTILAH ngopi tak digunakan hanya untuk aktivitas minum kopi. Secara filosofis, ngopi lebih sering digunakan untuk aktivitas kumpul atau silaturahmi bersama teman atau orang terdekat. Tempatnya mengarah ke warung kopi (warkop) atau lapak tepi jalan. Karena tempatnya apa adanya plus menu-menu yang lebih murah, membuat ngopi dianggap rutinitas lebih low class jika dibandingkan dengan istilah nongki.
Nongki adalah bahasa sleng dari nongkrong. Istilah ini mulai akrab di telinga pada era 2010-an. Sekitar sepuluh tahun lalu, saat awal bahasa gaul mulai bermunculan. Kosa kata nongki sering digunakan seiring berkembangnya tren kumpul di tempat tongkrongan yang lebih high class. Meski memiliki frasa yang sama, antara ngopi dan nongki memiliki pemahaman berbeda di kalangan anak muda. Menu yang dinikmati pun memiliki harga yang berbeda.
Sebut saja kopi. Di warkop, harga secangkir kopi cukup Rp 3 ribu – Rp 5 ribu. Sedangkan di kafe harganya mencapai Rp 20 ribu – Rp 25 ribu atau sekitar empat hingga lima kali lipat lebih mahal. Begitu pula minuman lain seperti es teh, es susu, es cokelat, dan sebagainya. Selisih harga antara warkop dan kafe bak langit dan bumi. Lantas apa yang sebenarnya membuat harga di kafe lebih mahal hingga lima kali lipat harga warkop?
Haris, salah satu manajer kafe dan resto di Jalan Wahidin Sudirohusodo, Tuban mengatakan, harga menu di kafe lebih mahal tidak hanya karena menjual fasilitas yang nyaman. Selain itu, menu yang disajikan kualitasnya berbeda dengan yang disajikan di warkop. Seperti kopi. Meski antara warkop dan kafe sama-sama memiliki menu kopi Robusta dan Arabika, namun grade atau kualitas biji kopi keduanya diklaim berbeda. ‘’Biji kopi itu memiliki grade. Rata-rata yang dibeli kafe biji kopinya ber-grade terbaik,’’ ujarnya.
Pria asal Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Gresik ini sedikit membocorkan rahasia dapurnya. Untuk satu kilogram biji kopi, dia mengaku beli dengan harga rata-rata Rp 250 ribu – Rp 500 ribu. Harga tersebut jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan harga kopi bubuk pasar yang harganya kisaran Rp 25 ribu per kilogram. ‘’Perlakuan terhadap biji kopi di kafe juga berbeda. Harus dimasak dengan suhu 80 – 90 derajat Celcius dengan timing tertentu agar rasa kopi tidak hilang,’’ jelasnya.
Firdaus, pemilik warkop di Kelurahan Latsari, Kecamatan Tuban mengatakan, segmen konsumen antara kafe dan warkop memang berbeda. Warkop digemari karena harganya yang lebih ramah kantong. Secara fasilitas, warkop memang tidak bisa menyediakan ruang ber-AC atau tempat duduk sofa yang empuk. Namun, warkop masih sering dipilih karena lebih menyediakan tempat yang friendly atau bersahabat bagi siapa saja. ‘’Orang ngumpul di warkop biasanya lebih guyup rukun karena bisa berdiskusi panjang lebar,’’ ujarnya. (yud/ds)