RADARBISNIS – Ketika industri perbankan nasional sedang ngos-ngosan, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) justru melaju kencang. Laba bersih semester I-2025 tembus Rp 3,74 triliun, tumbuh 10,21 persen secara tahunan (yoy). Mesin utamanya? Tabungan haji dan bisnis emas.
Direktur Utama BSI Anggoro Eko Cahyo membeberkan, total aset BRIS juga melonjak 10,97 persen yoy menjadi Rp 401 triliun. Dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun mencapai Rp 323 triliun, naik 8,83 persen yoy. Sementara pembiayaan melejit 13,93 persen yoy menjadi Rp 293 triliun.
“Pertumbuhan ini didukung produk unik syariah kami, yaitu tabungan haji dan bisnis emas,” ungkap Anggoro dalam konferensi pers seperti dikutip dari kontan.id, Senin (22/9).
Dominasi Haji: 84 persen Jemaah Milik BSI
Data BSI bikin melongo. Dari total 203 ribu jemaah haji asal Indonesia tahun ini, 84 persen adalah nasabah BSI. Bahkan jumlah tabungan haji di BSI sudah tembus 6,2 juta rekening, naik 18 persen yoy, dengan outstanding mencapai Rp 14,2 triliun (tumbuh 14,1 persen yoy).
Potensi pasarnya masih gemuk. Dari sekitar 21 juta muslim Indonesia yang mampu berhaji, baru 11,9 juta yang memiliki tabungan haji. Masih ada 9,1 juta yang belum terlayani.
“Kami memastikan nasabah siap berangkat haji, salah satunya melalui tabungan emas, agar nilainya ikut tumbuh,” ujar Anggoro.
Bisnis Emas Jadi Mesin Kedua
Selain tabungan haji, bisnis emas BSI juga jadi pendorong utama laba. Produk tabungan emas diposisikan sebagai solusi investasi jangka panjang yang aman. Strategi ini terbukti manjur, membuat BSI mampu menjaga kualitas pembiayaan dengan NPF gross hanya 1,87 persen atau membaik 0,12 persen yoy.
“Tabungan haji dan emas ini bukan hanya produk, tapi menjadi mesin pertumbuhan yang kami genjot habis-habisan,” tegas Anggoro.
Tantangan dan Catatan Kritis
Meski angka pertumbuhan kinclong, analis mengingatkan bahwa ketergantungan terlalu besar pada dua produk ini juga bisa jadi risiko. Fluktuasi harga emas dan kebijakan kuota haji dapat mempengaruhi pendapatan. BSI perlu terus memperluas portofolio pembiayaan sektor produktif agar tidak hanya mengandalkan “musim haji”. (*)