RADARBISNIS – Ada jeda napas yang terasa jelas dalam laporan keuangan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) edisi Oktober 2025. Dikutip dari Investor.id, bank dengan kode emiten BBCA itu membukukan laba bersih individual Rp 4,68 triliun.
Secara akumulasi Januari–Oktober, laba mencapai Rp 48,25 triliun—tumbuh 4,39 persen secara tahunan. Naik, tetapi tidak secepat yang terlihat satu bulan sebelumnya, ketika pertumbuhan laba masih di level 7,94 persen.
Perlambatan ini bukan tanpa sebab. Manajemen BCA sedang bermain aman, bahkan sangat berhati-hati, untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit di masa mendatang.
Sikap defensif itu tercermin dari melonjaknya provisi bulanan pada Oktober—naik 96,54 persen hingga menyentuh Rp 303,72 miliar.
Biaya Pencadangan Mencapai Rp 3,12 T
Selama sepuluh bulan, total biaya pencadangan sudah mencapai Rp 3,12 triliun, melesat 109,82 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Strategi ini membuat cost of credit (CoC) BCA terdorong naik menjadi 0,41 persen. Di atas batas target 0,3 persen, meski tetap lebih rendah dibandingkan banyak bank lain. Ada harga yang harus dibayar: kenaikan pencadangan menekan laba dan mempersempit ruang margin bunga.
Pendapatan bunga tumbuh 4,63 persen menjadi Rp 76,76 triliun, namun beban bunga naik lebih tinggi, 6,02 persen menjadi Rp 10,28 triliun. Akibatnya, pendapatan bunga bersih (NII) hanya naik 4,42 persen ke posisi Rp 66,47 triliun.
Net interest margin (NIM) pun terkikis ke 5,69 persen—menyentuh hampir titik batas bawah sasaran perusahaan. Tekanan margin yang dialami seluruh industri kembali memukul BCA.
Meski demikian, ada kabar baik dari sisi intermediasi. Penyaluran kredit justru mulai memanas. Oktober mencatat pertumbuhan 7,63 persen (yoy), membaik dari bulan sebelumnya dan berada tepat di sasaran manajemen yang mematok rentang 6–8 persen. Kredit BCA bahkan bergerak lebih agresif dibanding rerata industri, yang melambat ke 7,36 persen.
Di tengah tekanan margin, pendapatan komisi/fee justru jadi penopang kuat. Hingga Oktober, fee income tumbuh 7,99 persen—level tertinggi sepanjang tahun. Salah satu amunisi yang menjaga ketahanan profit BCA di tengah pengetatan bunga.
Raja CASA Tetap Bertahta
Soal likuiditas, BCA tetap tak tertandingi. Loan to deposit ratio (LDR) stabil di 78,29 persen, memberi ruang sangat lebar untuk ekspansi. Ini membuat bank nyaman mengurangi dana mahal. Deposito tumbang 4,61 persen (yoy) menjadi Rp 187,94 triliun—level terendah dalam dua tahun terakhir.
Sebaliknya, dana murah terus meroket. Giro melonjak 15,88 persen menjadi Rp 401,24 triliun. Tabungan naik 6,04 persen menjadi Rp 590,49 triliun. Total dana murah (CASA) tembus Rp 991,73 triliun atau tumbuh 9,81 persen. Rasio CASA BCA pun mencapai angka elitis: 84,07 persen.
Kombinasi likuiditas kuat dan CASA besar menjaga profitabilitas BCA tetap solid. Return on asset (ROA) berada di 3,96 persen dan return on equity (ROE) di 22,63 persen—keduanya sesuai rentang target perusahaan tahun ini.
Pasar Merespons Positif
Pada Rabu (19/11), saham BBCA naik 0,89 persen ke level 8.475. Investor asing kembali memborong, mencatat net buy Rp 77,80 miliar, sehari setelah mereka melakukan aksi jual besar.
Dalam lanskap yang penuh tekanan margin bunga dan ketidakpastian kredit, BCA memilih berdiri tegak dengan fondasi yang diperkuat pencadangan, likuiditas tebal, serta konsistensi sebagai penguasa dana murah.
Laba memang melambat, tetapi mesin inti tetap berputar dan—yang terpenting—siap melaju lebih jauh saat siklus ekonomi mulai memberi ruang lebih lapang. (*)








