Eksotisnya gugusan gunung memesona Lina Yoviana hingga membuat dirinya hobi mendaki. Perlahan namun pasti, hobinya tersebut selaras dengan cita-citanya menjadi Taruni angkatan udara.
————————————————-
GUNUNG pertama yang didaki Lina Yoviana adalah Gunung Penanggunggan. Gunung setinggi 1.653 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu lokasinya mencakup sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto.
Pendakian perdananya di gunung tersebut ketika masih duduk di bangku kelas dua SMA dalam kegiatan pramuka. Sejak pendakian itu, dara kelahiran 2000 ini mengaku nyandu mendaki gunung.
‘’Sejak waktu itu, tiap 17 Agustus saya rutin mendaki gunung,’’ ujarnya saat dihubungi Jawa Pos Radar Tuban kemarin (23/4).
Perempuan asal Desa Pugoh, Kecamatan Bancar ini mengungkapkan, 17 Agustus dipilih karena bertepatan dengan peringatan kemerdekaaan Indonesia.
Di momen tersebut, lanjut dia, setiap puncak gunung yang berhasil didaki, di situ akan digelar upacara bendera bersama rombongan. Dikemukan olehnya, upacara di puncak gunung rasanya lebih khusuk.
‘’Emosinya itu dapet banget,’’ terangnya.
Perempuan berkerudung ini melanjutkan, sejauh ini dia baru mendaki gunung-gunung
kecil. Untuk yang terbilang besar, dara yang kini berusia 21 itu mengatakan, hal tersebut belum diintenskan. Sejauh ini, sudah dua gunung besar terdaki. Di antaranya, Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah dengan ketinggian 3.136 mdpl dan Gunung Merbabu, Boyolali, Jawa Tengah dengan ketinggian 3.145 mdpl.
‘’Yang mendaki ke Merbabu itu terjadi Maret kemarin. Sebelum Ramadan,’’ terangnya.
Perempuan yang kini berdomisili di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jogjakarta ini menjelaskan, tiap kali melakukan pendakian satu timnya paling minim berisi empat orang. Perempuannya paling tidak dua orang dari jumlah tersebut.
Perempuan kelahiran Tuban yang kini sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan Jogjakarta ini meneruskan, hobi mendaki gunung sangat relate dengan kegiatan akademik dan cita-citannya.
‘’Mendaki gunung dan kedirgantaraan punya banyak kesamaan,’’ ujar perempuan yang bercita-cita menjadi tentara angkatan udara itu.
Perempuan yang juga tergabung dalam unit kegiatan taruna Dirgantara Pecinta Alam (Dirgapala) ini menjelaskan, mendaki gunung itu gambling. Tidak pasti, akan seperti apa medan yang dihadapi.
Inilah yang menurutnya kesamaan pendakian dengan dunia pener bangan. Dikemukakan olehnya, transportasi di udara sebetulnya tidak pasti. Hendak ke mana pun bisa, tapi risikonya besar.
‘’Jadi antara pendaki dan penerbang, harus punya insting dan penguasaan mental yang kuat. Keduanya hanya bisa memperkirakan keadaan di depan,’’ jelasnya.
Selain itu, alumni SMAN 5 Tuban ini menjelaskan, kesamaan antara pendakian dan penerbangan juga terdapat pada kemampuan survive.
Lina mencontohkan, seorang pendaki harus bisa bertahan dalam ketatnya hutan dan minimnya air serta bahan makanan. Ditandaskan olehnya, kemampuan itu sangat berguna bagi insan penerbangan ketika suatu kali terjadi kejadian yang tak diinginkan. Misalnya, pesawat mendarat darurat di suatu tempat asing. Jauh dari penduduk.
Lebih lanjut Lina menyebutkan, ada beberapa contoh lagi kesamaan antara pendakian dan penerbangan. Dikemukakan olehnya, yang menjadi dasar atau fondasi keduanya adalah disiplin. Dia memastikan, tanpa kedisiplinan, baik pendakian dan penerbangan tidak bisa berjalan mulus. Bahkan membahayakan. Contohnya, jika ada pesawat yang telat lepas atau landas beberapa menit saja, bisa merusak arus lalu lintas dirgantara secara makro.
‘’Sedangkan kalau di gunung, tidak tepat waktu bisa membuat pendakian terjebak oleh kabut,’’ tandasnya. (sab/tok)