Sempat dianggap punah, eksistensi wayang suket kembali ke permukaan. Adalah Yhoga Rizky Kristanto, 31, seorang pemuda asal Desa/Kecamatan Semanding yang menghidupkan kesenian tradisional tersebut hingga mendirikan Wayang Suket Indonesia.
GAGA sapaan akrab Yhoga Rizky Kristanto baru membongkar packing kardus sepanjang satu meter di rumahnya Dusun Semanding Barat, Desa/Kecamatan Semanding saat disambangi Jawa Pos Radar Tuban akhir 2021 lalu. Kardus tersebut berisi belasan wayang rumput atau suket. Wayang itu baru diusung dari rumah kontrakannya di Jogjakarta. Itu setelah pemuda kelahiran 25 Maret 1990 ini memutuskan untuk pulang kampung dan bermukim di tempat kelahirannya.
Sebelumnya, dia bermukim di Jogjakarta sekitar lima tahun untuk kuliah sekaligus menjadi pelaku kesenian wayang suket.
Wayang yang dibuat Gaga sangat unik. Terbuat dari rumput jenis mendong. Rumput bernama latin fimbristylis umbellaris ini sengaja dipilih karena yang paling memungkinkan untuk dianyam hingga menjadi sebuah wayang. Rumput ini dibudidayakan di sejumlah daerah untuk memenuhi pasokan kriya yang memanfaatkan bahan dari alam.
Di tangan Gaga, rumput ini dibentuk menjadi tokoh kesatria, priayi, wanita, dan anak-anak. Dalam berbagai penampilan yang menceritakan kisah apa pun, desain wayang suket yang digunakan hanya empat tokoh itu saja. Hanya pembawaan saat penampilan saja yang membuatnya berbeda. ‘’Wayang suket hanya memiliki empat main form (tokoh utama) yang dikembangkan dengan berbagai aktor lakon cerita,’’ kata pemuda gondrong ini.
Meski aktivitasnya memainkan wayang, sarjana komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini menolak dipanggil dalang. Dia lebih suka dipanggil The Puppeteer. Meski, puppeteer dalam bahasa Inggris memiliki pengertian dalang.
Secara filosofis, Gaga mengaku dirinya belum pantas disebut dalang. Dia memiliki sejumlah alasan. ‘’Dalang itu memiliki pakem khusus, tidak bisa sembarangan orang mengklaim dirinya sebagai dalang. Jadi saya ini puppeteer,’’ tuturnya.
Gaga kali pertama mengenal wayang suket saat masih menjadi mahasiswa D-3 Teknolgi Multimedia Boradcasting Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Saat itu, Gaga menjadi perajin kriya untuk suvenir salah satu hotel di Kota Pahlawan tersebut. Yang dibuat adalah suvenir wayang berbahan rumput.
Di berbagai negara maju, suvenir yang ramah lingkungan atau eco-green seperti wayang suket memiliki daya tarik tersendiri. ‘’Saya basic-nya pembuat kerajinan tangan dan pemain marionette (boneka),’’ ujarnya.
Wayang suket adalah salah satu warisan budaya nenek moyang. Namun, pertunjukan rakyat ini sudah lama punah karena nyaris tidak ada pelestarinya. Saat Gaga menunjukkan suvenir wayang suket kepada teman-temannya, banyak yang mencemooh. Mereka menganggap Gaga konyol karena menjual suvenir berbahan rumput. ‘’Akhirnya pada 25 Januari 2018 saya putuskan berhenti menjual suvenir wayang suket dan beralih jadi pelestari,’’ kenangnya.
Lulusan SMAN 1 Tuban ini mengatakan, saat masih menjadi mahasiswa S-1 Ilmu Komunikasi UNS Surakarta, dia memulai karirnya menjadi puppeteer. Dia mendirikan sebuah komunitas Wayang Suket Indonesia. Saat itu, anggotanya tak banyak. Hanya sekitar 30 orang. Mereka yang bergabung sebagian besar dari mahasiswa dan pemuda dari berbagai negara di Amerika dan Eropa yang kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia).
Komunitas yang baru didirikan Gaga langsung meroket. Dia banjir tawaran manggung. Dalam dan luar negeri. Yang menikmati dari berbagai kalangan, tua hingga generasi milenial.
Pertunjukan wayang suket yang ditampilkan Gaga cs jauh berbeda dari tampilan wayang pada umumnya. Selain obyek yang menggunakan wayang ramah lingkungan, penampilannya pun dikemas sangat singkat. Hanya sekitar setengah hingga satu jam. Setiap penampilan menggunakan konsep shadow atau bayangan dengan menyajikan visual art yang modern. ‘’Kami benar-benar menyasar anak muda agar mau kembali nonton wayang,’’ katanya.
Ide cerita wayang suket yang ditampilkan mengangkat legenda atau cerita rakyat. Seperti Roro Jonggrang, Aji Saka, Jaka Tarub, dan sebagainya. Setiap penampilannya, lulusan SMPN 1 Tuban ini menampilkan kolaborasi visual, musik, dan storytelling trilingual language (bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa). Setiap cerita rakyat itu diangkat dengan kemasan terbaru. Muatannya kritik sosial, guyonan, dan pesan moral. ‘’Satu kali pementasan membutuhkan 6-12 orang,’’ ujarnya.
Wayang suket sebenarnya pernah kembali booming saat Slamet Gundono pentas ke berbagai acara dan televisi nasional era 2008 – 2012. Sayangnya, pamor wayang hiburan wong cilik ini kembali tenggelam setelah Slamet Gundono tutup usia pada Januari 2014. Saat kali pertama menghidupkan wayang suket, Gaga mengaku belum mengenal Slamet Gundono. Hingga akhirnya dia banyak belajar dari salah satu budayawan Indonesia itu melalui berbagai platform media sosial. ‘’Saya pulang kampung biar relasi saya dari berbagai negara di dunia tahu kalau wayang suket Indonesia itu dari Tuban,’’ kata dia.(yud/ds)