Radartuban.jawapos.com – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama yang diajukan pasangan Islam dan Kristen memantik reaksi banyak kalangan, tak terkecuali dari Tuban.
Sebanyak empat warga dari kalangan santri mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Empat warga yang mengajukan gugatan itu, yakni M. Ali Muchtar, Ahmad Khoirul Ghufron, Shodikun, dan Tabah Ali Susanto.
Gugatan tertanggal 22 Juni 2022 itu sudah dilayangkan ke PN Surabaya. ‘’Gugatan kami daftarkan secara online,’’ kata Ali Muchtar, mewakili para santri lain.
Dalam gugatan tersebut, para penggugat berpendapat: hukum tertinggi Agama Islam adalah Alquran dan hadis, serta turunannya berupa ilmu fikih, tasawuf, dan lain-lain.
Ditegaskan penggugat dalam pendapatnya, bahwa tergugat (PN Surabaya) mengabulkan permohonan izin perkawinan beda agama antara agama Islam dan Kristen dengan pertimbangan hukum salah satunya hak asasi manusia (HAM), maka logika beragama secara hukum telah terbalik, yaitu hukum agama dapat tunduk dengan keyakinan atau selera pemeluknya, yang sejatinya pemeluk agama wajib tunduk dan patuh atas hukum agamanya—Alquran dan hadis, serta turunannya.
‘’Dampak dari hukum agama disesuaikan selera pemeluknya sangatlah berbahaya bagi hukum agama itu sendiri. Juga umat Islam pada umumnya,’’ tegas Ali.
Selain itu, tegas dia, hal ini menjadikan hukum Islam menjadi tidak pasti, mana yang wajib, sunah, mubah, haram, atau berdasarkan seleranya mengatasnamakan agama Islam.
Dan ini, lanjut Ali, sangat berisiko. ‘’Jika didasarkan pada selera, dikhawatirkan seperti rukun dan syarat salat, haji, dan lain sebagainya dapat diubah sesuai selera atas nama HAM,’’ tandasnya.
Kesalahan fatal lain dari putusan hakim tunggal Imam Supriyadi yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama yang di ajukan RA dan EDS, lanjut santri sekaligus pendidik ini, tidak pernah melibatkan tokoh agama, baik ulama dari agama Islam maupun pendeta dari Kristen.
‘’Hukum agama tidak boleh diputus hakim tunggal tanpa melibatkan tokoh agama. Sebab, yang memegang ilmu agama adalah tokoh agama itu sendiri. Ulama dari Islam, dan pendeta dari Kristen. Dan ini sama sekali tidak dilibatkan,’’ tegas dia.
Atas dasar di atas itulah, Ali bersama kawan-kawan santri lainnya mengajukan gugatan atas putusan PN Surabaya yang mengabulkan gugatan pasangan beda agama RA dan EDS.
‘’Ini adalah putusan yang menjadi perseden buruk. Sehingga tidak bisa dibiarkan, sangat bahaya. Masyarakat harus tahu bahwa putusan PN Surabaya perihal pernikahan beda agama itu salah besar,’’ tandasnya.
Dilansir dari Jawa Pos, putusan PN Surabaya atas dikabulkannya permohonan pernikahan beda agama tersebut, juga sudah mendapat respon dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya.
Ditegaskan Sekretaris MUI Surabaya Muhaimin Ali, dalam Pasal 2 UU 1/1974 tentang Perkawinan menyebutkan, pernikahan disebut sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Bagi umat muslim, aturan lebih lanjut merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). (tok)