RADARBISNIS – Di tengah upaya pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi, sinyal merah justru menyala di sektor fiskal.
Realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2025 hanya Rp 683,3 triliun, turun 10,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Situasi ini membuat APBN kembali tekor sebesar Rp 21 triliun.
Tak hanya itu, pendapatan negara secara keseluruhan juga jeblok 11,4 persen, dari Rp 1.123,5 triliun menjadi Rp 995,3 triliun. Penurunan ini diperparah dengan anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tergerus hingga 24,9 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani tak menampik tekanan ini saat menggelar konferensi pers bertajuk “APBN Kinerja dan Fakta”, Selasa (17/6).
Menurutnya, penurunan penerimaan pajak ini menjadi indikator bahwa perekonomian masih berjalan pincang.
“Ini menjadi cerminan bahwa tekanan ekonomi global dan pelemahan harga komoditas turut berdampak terhadap penerimaan negara,” ujarnya.
Di tengah sorotan tajam atas jebloknya pajak, bea cukai justru tampil menyelamatkan muka. Realisasinya mencapai Rp 122,9 triliun, naik 12,6 persen dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 109,1 triliun.
Sektor ekspor, bea masuk, dan cukai rokok menjadi penopang utama dalam pendapatan dari sektor ini.
Meski belanja negara ikut diturunkan, jumlahnya tetap tinggi: Rp 1.016,3 triliun, hanya turun 11,26 persen dari tahun lalu.
Alhasil, defisit tak terhindarkan, meskipun secara persentase terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) defisit tercatat hanya 0,09 persen—lebih rendah dari tahun lalu (0,1 persen).
Namun, kabar baiknya, keseimbangan primer mencatatkan surplus sebesar Rp 192,1 triliun. Ini artinya, pemerintah belum terlalu agresif berutang, meski pembiayaan anggaran sudah mencapai Rp 324,8 triliun hanya dalam lima bulan.
Kenapa Pajak Bisa Anjlok?
Ekonom Eko Listyanto dari INDEF memberikan catatan tajam. Menurutnya, penurunan penerimaan pajak bukan semata karena ekonomi lesu, tapi juga lemahnya jangkauan dan efektivitas sistem perpajakan.
“Basis pajak kita masih sempit. Banyak sektor potensial, seperti UMKM digital dan sektor informal, yang belum optimal digarap,” ujarnya.
Situasi ini jelas menunjukkan bahwa keseimbangan fiskal negara sedang berada di zona rapuh. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tak mungkin pemerintah harus menggali utang lebih dalam untuk menambal APBN di paruh kedua tahun ini.
Langkah mendesak bukan hanya menekan belanja, tapi melakukan diversifikasi sumber pendapatan, mempercepat reformasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan pajak, khususnya dari sektor ekonomi digital yang selama ini belum tergarap maksimal. (*)