RADARBISNIS – Nilai tukar rupiah membuka pekan ini dengan langkah terseok di pasar spot. Senin (14/7), rupiah ditutup melemah 0,21% ke level Rp 16.245/US$, mengikuti tekanan yang juga dirasakan mayoritas mata uang kawasan Asia dan emerging market.
Sebelumnya, rupiah sempat menyentuh level terlemah di Rp 16.260/US$, sebelum berbalik arah menjelang penutupan perdagangan.
Pelemahan ini membuat rupiah menempati posisi kelima terlemah di Asia hari ini, di bawah peso Filipina (-0,32%), dolar Taiwan, won Korea, dan rupee India.
Di tengah ketidakpastian global, indeks dolar AS (DXY) naik ke level 97,88, didorong oleh panasnya isu tarif ekspor AS ke Eropa dan Meksiko, serta konflik politik internal antara Presiden Donald Trump dan Ketua The Fed Jerome Powell.
“Jika Trump memaksa Powell mundur, pasar berpotensi shock. Dolar bisa anjlok 3-4% dan obligasi AS bisa kehilangan hingga 40 basis poin,” ujar George Saravelos, Head of FX Strategy Deutsche Bank AG dikutip dari Bloomberg.
Satu-satunya kabar baik datang dari China. Ekspor Negeri Tirai Bambu naik 5,8% pada Juni, lebih tinggi dari ekspektasi analis. Impor juga tumbuh 1,1%—pertumbuhan pertama sejak Februari—membawa surplus perdagangan ke US$ 115 miliar.
Namun, sentimen positif ini belum cukup kuat menahan tekanan di Asia, terlebih dengan sikap AS yang masih agresif dalam perang tarif global.
Menariknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru tampil tangguh. Hingga penutupan sore, IHSG menguat 0,7%, ditopang aksi beli pada saham-saham konglomerasi, terutama yang terkait taipan Prajogo Pangestu.
Di pasar obligasi negara (SBN), mayoritas yield tenor naik, mengindikasikan tekanan jual akibat ketidakpastian global.
- Yield SBN tenor 2Y naik 0,4 bps
- Yield 5Y naik 0,5 bps
- Yield 10Y melonjak 1,5 bps
- Yield 20Y terdongkrak 2,1 bps
Sementara obligasi global INDON tenor 10Y juga mencatat kenaikan yield 2,4 bps, memperkuat sinyal pelemahan harga.
Pelemahan rupiah kali ini tidak berdiri sendiri. Tekanan datang dari segala arah: isu geopolitik, ketegangan antara Presiden AS dan The Fed, serta sikap dagang AS yang kembali agresif.
Meski pasar saham domestik masih menunjukkan kekuatan, namun investor disarankan tetap waspada. Volatilitas tinggi bisa datang sewaktu-waktu, terutama jika konflik politik di AS memanas atau ketegangan tarif semakin meningkat. (*)