RADARBISNIS – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan taringnya pada Kamis (24/7), seiring sentimen positif dari panggung global dan proyeksi fiskal dalam negeri. Di tengah gempuran ketidakpastian ekonomi dunia, rupiah justru menguat tipis 8 poin atau 0,05% ke level Rp 16.295 per dolar AS.
Penguatan ini jadi sinyal menarik, terutama karena terjadi berbarengan dengan naiknya indeks dolar sebesar 0,07% ke angka 97,28. Sehari sebelumnya, mata uang Garuda juga sempat mencatatkan penguatan lebih besar, yakni 16,5 poin ke level Rp 16.303.
Analis mata uang dari PT Laba Profitindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menyebut penguatan rupiah tak lepas dari geliat diplomasi dagang antara AS dan mitra strategisnya, termasuk Jepang dan Uni Eropa.
“Pasar merespons positif perjanjian tarif yang diteken Presiden Donald Trump dengan Jepang. Isinya? Jepang terbebas dari bea masuk otomotif baru, dan AS diguyur investasi jumbo senilai US$ 550 miliar,” beber Ibrahim dikutip dari investor.id.
Langkah berani Amerika Serikat dalam merombak struktur tarif perdagangan membuat pelaku pasar mulai mencium aroma pemulihan perdagangan global. Dua diplomat Uni Eropa bahkan mengonfirmasi adanya kemajuan signifikan menuju kesepakatan tarif dasar 15% untuk ekspor ke AS.
“Jika kesepakatan ini tercapai, maka tekanan terhadap emerging market, termasuk Indonesia, bisa mereda. Ini membuka ruang bagi rupiah untuk bernapas lebih panjang,” kata Ibrahim.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump juga baru saja mengumumkan penurunan tarif impor Jepang dari 25% menjadi 15%. Sebagai timbal balik, Negeri Sakura setuju untuk mengucurkan investasi raksasa ke jantung ekonomi Amerika.
Tak hanya itu, isu pengunduran diri PM Jepang Shigeru Ishiba turut memengaruhi ekspektasi pasar. Ketidakpastian politik di Jepang bisa mendorong investor melakukan diversifikasi aset—dan Indonesia berpotensi jadi sasaran masuknya dana asing.
Dari dalam negeri, perhatian investor tertuju pada rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang bernilai fantastis: Rp 3.820 triliun. Namun, ekonom justru mewanti-wanti soal efektivitas eksekusinya.
“Belanja jumbo pemerintah bisa dorong ekonomi, tapi kalau tidak terserap optimal, itu sama saja bohong. Tahun ini saja, anggaran Rp 3.621 triliun belum optimal karena perencanaan teknis dan eksekusi lamban,” ujar Ibrahim.
Kebiasaan blokir anggaran alias automatic adjustment yang diterapkan ketika penerimaan negara meleset dari target, juga jadi momok. Proyek strategis kerap tertunda bahkan dibatalkan mendadak, sehingga stimulus ekonomi yang diharapkan justru kehilangan gigi.
“Penyerapan anggaran baru menggeliat di kuartal III. Ini membuat dorongan fiskal tidak konsisten sepanjang tahun,” lanjutnya.
Untuk perdagangan Jumat (25/7), rupiah diprediksi bergerak fluktuatif, namun tetap dalam kisaran stabil di Rp 16.240 hingga Rp 16.300 per dolar AS.
Ibrahim menyebut, pelaku pasar akan mencermati rilis data Indeks Manajer Pembelian (PMI) dari AS, Zona Euro, dan Inggris. Selain itu, laporan klaim pengangguran mingguan AS juga menjadi indikator penting yang bisa mengguncang arah rupiah.
“Jika data PMI dan klaim pengangguran AS mengecewakan, potensi rupiah lanjut menguat terbuka lebar,” pungkasnya. (*)