TUBAN – Sudah tiga bulan lahan pertanian milik Suharto tak bisa membuang air. Pemicunya, sejak Juni pemerintah desanya menutup, bahkan menguruk saluran drainase.
Sampai berita ini diturunkan lahan seluas kurang lebih lima hektare milik Suharto menganggur tak ditanami padi.
‘’Kami tidak terima. Drainase merupakan fasilitas umum milik desa,’’ ujar Murtono, anak Suharto kepada Jawa Pos Radar Tuban.
Dia mengungkapkan, munculnya permasalahan tersebut karena dirinya keluar dari keanggotaan Hippa Tirto Sandang Pangan (TSP) Kedungsoko.
‘’Setelah itu, kami mendapat surat dari kepala desa bahwa tidak boleh membuang di saluran air milik desa,’’ ujarnya.
Murtono menyampaikan, dirinya keluar dari TSP Kedungsoko karena iuran anggotanya terlalu mahal. Besarnya 10 persen dari total hasil panen padi.
Karena luas lahannya lima hektare, setiap panen dirinya harus membayar iuran Rp 20 juta kepada TSP.
Setelah keluar dari TSP, untuk mengairi sawahnya, Murtono membuat sumur bor.
‘’Kalau membuat sumur bor paling tidak kami hanya menghabiskan Rp 10 juta untuk semua kebutuhan operasional pengairan,’’ bebernya.
Setelah problem irigasi teratasi, dia mengaku mendapat masalah baru berupa intimidasi dari pemerintah desa. Bentuk intimidasinya, mulai dilarang membuang air di saluran drainase dengan alasan bukan lagi anggota hingga saluran tersebut ditutup dengan pedel.
‘’Kami akhirnya tak bisa membuang air,’’ imbuhnya.
Intimidasi berikutnya yang diterima, diesel penyedot air diduga diambil pemerintah desa tanpa sepengetahuan dirinya dan keluarga.
‘’Maksudnya apa kok sampai membawa diesel. Akhirnya kami laporkan ke polres,’’ ujarnya.
Dikonfirmasi terkait permasalahan tersebut, Kades Kedungsoko, Kecamatan Plumpang Rifai mengatakan, permasalahan dengan keluarga Murtono itu sudah sejak Juni lalu.
Permasalahan penutupan drainase tersebut saat ini sudah diproses di polres.
‘’Itu ceritanya panjang, silakan sekarang ke polres saja, karena sudah di ranah hukum,’’ ujarnya. (fud/ds)