KOLOM ini saya tulis dengan perasaan yang sedikit gelisah. Kegelisahan yang hampir sama saat mendengar kabar Jurgen Klopp memutuskan mundur dari kursi kepelatihan di Liverpol.
Dan kini, kegelisahan itu kembali menjalar ketika melihat dinamika politik Pemilu 2024 yang semakin runyam.
Bahkan mungkin suram.
Pertengkaran politik antarelit parpol dan penyelenggara negara semakin tidak mendidik.
Jauh dari nilai-nilai untuk diteladani. Parahnya lagi, situasi yang demikian menggelisahkan itu masuk hingga ruang-ruang dan kamar organisasi keagamaan.
Satu sama lain seakan sibuk memerankan seni politik dramartugi—demi kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing.
Idealnya, organisasi keagamaan, khususnya ulama, kiai, dan gus, harus bersikap menjaga jarak dari penguasa.
Independen dan netral kepada kekuasaan.
Menjalankan peran sebagai penjaga etika. Mengingatkan penguasa yang lalim—gagal dalam menjunjung tinggi etika dalam bernegara dan berbangsa.
Namun, belakangan ini kita melihat ada percampuradukan antara organisasi keagamaan dengan kekuasaan.
Yang berada di struktur organisasi keagamaan, juga tampak berada di struktur pemerintahan.
Begitu pun sebaliknya—yang berada di struktur penyelenggara negara, juga menjadi bagian dari struktur organisasi keagamaan.
Lebih jauh dari itu—menjelang pemilihan presiden (pilpres), sebagian ulama—representatif dari organisasi keagamaan Islam juga tampak larut dalam kontestasi pilpres.
Tidak sedikit yang terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon (paslon) capres-cawapres.
Bahkan saling menyerang dan menjatuhkan.
Menjadi bagian dari warga NU kultural, saya menyampaikan rasa takdim dan terima kasih kepada Gus Mus (KH Mustofa Bisri).
Frasa yang disampaikan Gus Mus pada acara pembukaan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama dan Halaqah Nasional di Jogjakarta beberapa hari lalu.
Dengan gaya khasnya, humor tapi tegas, Gus Mus berhasil mengingatkan kepada kita semua, khususnya jajaran di struktur NU—bahwa jalan politik NU adalah politik kebangsaan, bukan memenangkan salah satu paslon capres-cawapres.
“Urusan NU itu memperbaiki kinerja—memenangkan Indonesia, bukan capres tertentu,” tegas Gus Mus.
Dawuh Gus Mus seakan menasihati kita semua—bahwa jalan politik organisasi keagamaan kita telah jauh melenceng.
Mencampur adukan kepentingan umat (ulama) dan kekuasaan (penguasa).
Organisasi keagamaan kita seakan tak lagi memiliki independensi.
Penguasa dan kelompok representatif organisasi keagamaan seakan telah menjalin kesalingsepakatan dan kepentingan yang simbiosis mutualisme.
Sebuah kesepakatan yang hanya menguntungkan kepentingan kelompok elit.
Demi kesalingkepentingan, penguasa memberikan fasilitas yang begitu luar biasa kepada kelompok organisasi keagamaan.
Dan sebaliknya, berkat fasilitas luar biasa yang telah diberikan penguasa, jamaah dari kelompok organisasi keagamaan ini siap all in menyukseskan, memenangkan kelompok politik yang didukung penguasa.
Kekecewaan Membuncah Sivitas Akademika
Lain Gus Mus, lain sivitas akademika, yang selama tiga hari berturut hingga Jumat (2/1) lalu, sudah empat universitas ternama di Indonesia mengeluarkan petisi atau pernyataan sikap yang disampaikan kepada pemerintah, wabilkhusus kepada Presiden Joko Widodo yang dinilai telah menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi.
Namun yang pasti, baik Gus Mus maupun sivitas akademika, sepertinya memiliki keresahan yang sama melihat dinamika perpolitik di negeri ini.
Jika Gus Mus mengingatkan kepada seluruh jajaran di struktur NU untuk kembali pada tujuan politik kebangsaan.
Sedangkan mereka yang mewakili sivitas akademika mengingatkan kepada Presiden Jokowi untuk segera kembali pada koridor demokrasi yang dianut bangsa ini.
Petisi yang menjadi tamparan keras bagi pemerintahan era Jokowi itu dimulai dari petisi Bulak sumur Universitas Gadjah Mada (UGM), kemudian Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, disusul Universitas Indonesia (UI) Kampus Depok dan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar.
Dalam petisi Bulak sumur UGM yang dibaca kan Prof Koentjoro itu mencatat bahwa telah banyak penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi menjelang Pemilu 2024.
Di antara catatan itu, yakni pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi yang kemudian memuluskan jalan Gibran putra Presiden menjadi calon wakil presiden, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, hingga pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.
Petisi yang tidak kalah menampar peran Presiden juga disampaikan oleh UII.
Pernyataan sikap UII yang dibacakan Rektor UII Fathul Wahid itu menyoroti perkembangan politik nasional yang dianggap semakin mempertontonkan penyalahgunaan kewenangan tanpa malu-malu, dan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.
Ditegaskan dalam catatan petisi itu, bahwa demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran.
Dan diperburuk dengan pudarnya sikap kenegarawanan Presiden Jokowi.
Dan salah satu indikatornya adalah pencalonan Gibran putra sulung Presiden sebagai cawapres yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Lebih jauh dari itu, adalah keberpihakan Jokowi terhadap paslon capres-cawapres yang semakin tampak terang memanfaatkan kewenangannya.
Setali tiga uang, petisi yang tidak kalah keras juga disampaikan perwakilan mahasiswa dan alumni UI Kampus Depok.
Petisi bertajuk deklarasi itu dibacakan oleh Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo.
Ditegaskan bahwa UI Kampus Depok mengajak kepada alumni dan masyarakat untuk merapatkan barisan, guna mengutuk segala bentuk tindakan yang menindas kebebasan berekspresi, menuntut hak pilih rakyat dalam pemilu dapat dijalankan tanpa intimidasi dan ketakutan.
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Harkristuti juga menyerukan agar seluruh perguruan tinggi di tanah air turut mengawasi dan mengawal secara ketat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di wilayah masing-masing.
Hal ini menandakan bahwa akan ada kecurangan masif yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk memenangkan calon tertentu.
Pun demikian petisi yang disampaikan oleh guru-guru besar Unhas.
Para akdemisi yang tergabung dalam Forum Guru Besar dan Dosen Unhas ini meminta kepada Jokowi untuk kembali pada koridor demokrasi.
Tidak lagi menyalahgunakan kewenangannya sebagai presiden.
Secara garis besar, perwakilan dari sivitas akademika ini menyesalkan dugaan hal-hal menyimpang yang dilakukan Presiden Jokowi.
Dan atas petisi atau deklarasi sikap tersebut, baik UGM, UII, UI Kampus Depok maupun Unhas Makasar meminta kepada Presiden untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis.
Wabakdu, sulit untuk tidak mengatakan bahwa petisi dari UGM, UII, UI Kampus Depok, dan Unhas Makasar ini dibuat karena kekecewaan yang sudah membuncah terhadap Jokowi.
Bahwa Jokowi sudah terlalu jauh meninggalkan koridor demokrasi.
Dan ini sangat berbahaya terhadap keberlangsungan bangsa dan negara.
Jika sudah sedemikian akut kesalahan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Jokowi. Maka sudah saatnya pula organisasi keagamaan—penjaga keutuhan NKRI, seperti NU dan Muhammadiyah turut serta memberikan pernyataan sikap.
Lantas, mungkinkah NU mengadakan bahtsul masail dan Muhammadiyah menggelar majelis tarjih untuk mencari hukum atas fenomena dinamika politik nasional yang semakin suram ini. Wallahualam. (*)