Radartuban.jawapos.com – Pemilihan kepala desa (pilkades) di sejumlah desa di Tuban tahun ini bakal kurang gereget. Itu seiring munculnya ‘’calon boneka’’ pada gelaran pesta demokrasi di tingkat desa tersebut.
Mengacu hasil pendaftaran terakhir calon kepala desa (cakades), Senin (1/8), setidaknya sekitar tujuh desa dengan pendaftar masih satu keluarga, baik sesama saudara kandung maupun pasangan suami-istri.
Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, Kabid Pemberdayaan Masyarakat Desa Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dinsos P3A PMD) Tuban Suhut mengatakan, calon satu keluarga paling banyak dimunculkan calon berlatar belakang incumbent.
Penyebabnya, selama tahapan pendaftaran yang berlangsung selama sembilan hari (20 Juli—1 Agustus), hanya calon incumbent saja yang mendaftar. Karena pilkades tidak memungkinkan digelar hanya dengan satu kontestan, calon petahana menggandeng saudara, bahkan istrinya sendiri untuk ikut mendaftar.
‘’Untuk lebih mudahnya menggandeng calon lain dari keluarganya sendiri,’’ ujarnya.
Suhut menyampaikan, idealnya dalam pesta demokrasi di tingkat desa terjadi persaingan antarcalon. Karena calon masih satu keluarga, persaingan pun tidak terjadi.
‘’Ketika pemilihan, masyarakat langsung memilih calon yang sungguhan (bukan memilih ‘’calon boneka’’, Red),’’ ujarnya.
Mengapa tidak muncul calon lain? Suhut membeberkan beberapa faktor.
Salah satunya calon petahana yang terlalu kuat, sehingga calon lain membaca peluang menangnya sangat tipis.
‘’Karena sudah tahu bakal kalah, jadi lebih baik tidak mencalonkan diri,’’ ujar bapak dua anak itu.
Suhut mengakui, dengan munculnya calon kepala desa yang masih satu keluarga, pilkades menjadi kurang gereget. Demokrasi pun sangat lemah karena masyarakat tidak memiliki banyak pilihan.
Sisi positifnya, lanjut dia, pilkades dengan calon satu keluarga minim perpecahan maupun konflik. Itu karena tidak mungkin calon satu keluarga saling serang.
Di bagian lain, pejabat lulusan Universitas Kediri ini menyampaikan, calon kepala desa yang masih satu keluarga diperbolehkan. Mahkamah Konstitusi (MK) pun memberikan keputusan bahwa hal itu tidak melanggar peraturan.
‘’Kalau diperbolehkan berarti ya tidak masalah,’’ imbuhnya. (fud/ds)