RADARBISNIS – Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan taringnya. Di tengah gejolak geopolitik Timur Tengah dan ketegangan dagang global, rupiah justru berhasil menguat terhadap dolar AS. Senin (16/6), rupiah ditutup di level Rp 16.260/US$, menguat 0,18 persen dibanding akhir pekan lalu.
Fenomena ini terjadi saat dolar AS sedang “terjun bebas” di pasar global, terutama setelah serangan militer Israel terhadap fasilitas nuklir Iran yang mengguncang Timur Tengah.
Ditambah lagi, pasar kian khawatir terhadap ancaman perang tarif baru dari Presiden Donald Trump yang kembali jadi sorotan setelah komentar kontroversialnya soal konflik Iran-Israel.
Pasar global bergejolak usai Israel melancarkan serangan besar-besaran ke fasilitas nuklir Iran. Dua pejabat AS membenarkan adanya operasi militer Israel, namun menyebut AS tidak terlibat langsung. Di sisi lain, ledakan terdengar di kawasan Teheran, memicu gelombang kepanikan.
Presiden Donald Trump, melalui akun Truth Social, memberikan peringatan keras. “Jika kita diserang oleh Iran dalam bentuk apa pun, kekuatan penuh militer AS akan membalas dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tegasnya.
Ketegangan ini membuat pasar melepaskan dolar AS dan mencari “safe haven” seperti emas, franc Swiss, dan mata uang Asia yang relatif stabil—termasuk rupiah.
Ancaman Perang Tarif Trump Picu Arah Angin Baru
Tak hanya ketegangan militer, Trump juga kembali melempar ancaman soal perang dagang. Ia menyatakan niat mengenakan tarif baru terhadap sejumlah mitra dagang jika terpilih kembali sebagai Presiden AS. Pasar bereaksi negatif, mengingat perang tarif sebelumnya (2018–2019) berdampak besar terhadap pelemahan ekonomi global.
Hal ini memperkuat spekulasi bahwa dolar AS tidak lagi menjadi primadona investor internasional, apalagi dalam situasi global yang tak menentu.
Ekonom dari Bank Mandiri, Ajeng Rizkyana, menyebut momentum ini bisa dimanfaatkan Bank Indonesia. “Rupiah mendapat sentimen positif dari pelemahan dolar secara global. Namun BI tetap perlu waspada terhadap volatilitas jangka pendek,” tuturnya.
Ia menambahkan, BI berpeluang memperkuat intervensi di pasar valas untuk menjaga kestabilan kurs dan mencegah gejolak mendadak akibat faktor eksternal.
Rupiah menguat bukan sekadar karena faktor dalam negeri. Di balik lonjakan ini, ada dinamika global yang bisa berbalik arah sewaktu-waktu. Ketegangan Iran-Israel dan ketidakpastian Trump bisa menjadi boomerang jika terus memanas.
Pemerintah dan Bank Indonesia harus tetap siaga, karena bila dolar AS rebound, tekanan terhadap rupiah bisa datang lebih kuat dari sebelumnya. Untuk saat ini, rupiah menang ronde, tapi ring pertarungan masih jauh dari selesai. (*)