RADARBISNIS – Keputusan berani diambil Bank Indonesia (BI). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar 16–17 September 2025, BI resmi menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen. Tak hanya itu, suku bunga Deposit Facility juga dipotong 50 bps menjadi 3,75 persen, sedangkan Lending Facility turun 25 bps ke 5,50 persen.
Langkah ini dinilai sebagai sinyal kuat dari BI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus memastikan inflasi tetap terjaga dalam target 2,5 ± 1 persen pada 2025–2026.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menegaskan bahwa penurunan suku bunga ini bukan keputusan spontan, melainkan hasil kalkulasi mendalam atas kondisi makroekonomi global dan domestik.
“Kondisi global yang masih penuh ketidakpastian, perlambatan ekonomi dunia, serta inflasi yang terkendali menjadi dasar BI memanfaatkan ruang penurunan suku bunga. Kami ingin mempercepat pemulihan ekonomi dan mendorong pembiayaan produktif,” ujar Ramdan Denny dikutip dari laman resmi BI, kemarin (17/9).
Likuiditas Longgar, BI Perkuat Pasar Uang
Penurunan BI-Rate disertai kebijakan ekspansi likuiditas. BI menurunkan posisi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) hingga Rp 716,62 triliun dan aktif membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp 217,10 triliun. Strategi ini diharapkan memperkuat pendalaman pasar uang dan memperlancar transmisi penurunan suku bunga deposito dan kredit perbankan.
Tak berhenti di situ, BI juga mengoptimalkan peran dealer utama untuk meningkatkan transaksi SRBI dan repo antarbank. Intervensi nilai tukar dilakukan secara terukur, baik melalui transaksi spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward) di dalam negeri, maupun NDF di luar negeri.
Kredit Murah Masih Lambat, BI Sentil Perbankan
Meski BI-Rate telah turun total 125 bps sejak September 2024, suku bunga perbankan ternyata belum bergerak agresif. Suku bunga deposito 1 bulan hanya turun 16 bps, sedangkan bunga kredit nyaris stagnan di 9,13 persen.
“Perbankan perlu segera menurunkan suku bunga agar kredit bisa lebih terjangkau bagi pelaku usaha. Ini penting untuk menggerakkan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung program prioritas pemerintah,” tegas Ramdan Denny.
Ekonomi Global Lesu, Rupiah Tetap Perkasa
Ketika ekonomi AS dan Tiongkok melambat akibat tarif resiprokal, serta Eropa dan Jepang mengalami tekanan ekspor, rupiah justru menguat 0,30 persen pada September 2025. Cadangan devisa RI juga terjaga di level tinggi, USD 150,7 miliar, setara 6,3 bulan impor.
Stabilitas ini menjadi modal penting agar investor tetap percaya terhadap pasar keuangan Indonesia, termasuk menjaga arus modal asing yang terus mengalir ke SBN.
Digitalisasi Jadi Kunci Pertumbuhan
Di sisi lain, BI terus memperluas digitalisasi sistem pembayaran. Transaksi QRIS melonjak 145 persen (yoy) pada Agustus 2025, sementara BI-FAST memproses hampir 400 juta transaksi senilai Rp 967,29 triliun.
“Digitalisasi ekonomi dan keuangan menjadi tulang punggung pertumbuhan ke depan. BI berkomitmen memperluas ekosistem pembayaran digital agar efisiensi transaksi semakin tinggi,” jelas Ramdan.
Prospek 2025 Cerah, Pertumbuhan Bisa Tembus 5,4 Persen
Dengan kebijakan moneter longgar, insentif likuiditas makroprudensial Rp 384 triliun, dan sinergi dengan pemerintah dalam program Asta Cita, BI optimistis pertumbuhan ekonomi 2025 berada di atas titik tengah kisaran 4,6–5,4 persen.
Ramdan menegaskan, BI akan terus memantau perkembangan inflasi, nilai tukar, dan likuiditas agar kebijakan suku bunga tetap efektif.
“Stabilitas tetap prioritas. Tapi kami ingin pertumbuhan ekonomi naik level. Penurunan BI-Rate ini momentum agar kredit mengalir lebih deras,” tutupnya. (*)