25.2 C
Tuban
Tuesday, 1 July 2025
spot_img
spot_img

Rupiah Perkasa Lawan Dolar AS! Tapi Apakah Ini Tanda Kebangkitan atau Sekadar Fatamorgana Ekonomi?

RADARBISNIS — Rupiah kembali unjuk gigi. Mata uang Garuda sukses menekan dolar Amerika Serikat (USD) ke level terendah dalam sebulan terakhir, memicu euforia pasar menjelang libur panjang akhir pekan. Tapi tunggu dulu—apakah ini sinyal kuat perbaikan ekonomi, atau hanya sandiwara musiman yang akan cepat berlalu?

Pada Kamis, 26 Juni 2025, data dari Refinitiv mencatat bahwa rupiah ditutup menguat 0,53 persen ke level Rp 16.200 per USD, tertinggi sejak 27 Mei 2025. Dalam sepekan, rupiah bahkan sudah menguat 1,10 persen. Sekilas tampak menggembirakan, tapi benarkah ini karena faktor fundamental dalam negeri?

Faktanya, pelemahan dolar AS secara global jadi pendorong utama. Indeks Dolar AS (DXY) justru merosot 0,46 persen ke level 97,22, akibat investor global menahan napas menanti data penting seperti PCE (Personal Consumption Expenditures)—indikator inflasi utama The Fed—dan data pertumbuhan ekonomi kuartal II AS.

Baca Juga :  Tawarkan Inovasi Precise Interlock Brick, SIG Siap Sukseskan Proyek 3 Juta Rumah

Menurut Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, lonjakan rupiah lebih banyak dipicu faktor temporer.

“Permintaan naik karena libur panjang. Jadi ada konversi dana jangka pendek ke rupiah. Tapi untuk tren berkelanjutan? Itu bergantung hasil negosiasi fiskal AS pekan depan,” jelasnya.

Artinya, bukan karena ekonomi Indonesia membaik, tapi karena faktor eksternal sedang lemah dan publik sedang liburan.

Pasar kini juga menyoroti tenggat pembahasan anggaran dan kebijakan fiskal AS pada 9 Juli. Jika tak tercapai, kekhawatiran global meningkat dan dolar AS bisa kembali bangkit—yang artinya rupiah bakal kembali loyo.

Lebih kritis lagi, sejumlah indikator makroekonomi Indonesia belum kokoh. Mulai dari defisit transaksi berjalan, utang luar negeri, hingga ketergantungan terhadap impor bahan baku.

Baca Juga :  Prabowo Ingin Danantara Bergerak Cepat tapi Teliti dan Hati-Hati

Meskipun penguatan ini patut diapresiasi, sejumlah pengamat mengingatkan publik dan pelaku pasar agar tidak terlena dengan ilusi stabilitas.

“Rupiah kuat bukan berarti kita sudah menang. Kita cuma dapat waktu jeda, bukan perlindungan permanen,” ujar seorang analis senior di Jakarta yang enggan disebutkan namanya. (*)

RADARBISNIS — Rupiah kembali unjuk gigi. Mata uang Garuda sukses menekan dolar Amerika Serikat (USD) ke level terendah dalam sebulan terakhir, memicu euforia pasar menjelang libur panjang akhir pekan. Tapi tunggu dulu—apakah ini sinyal kuat perbaikan ekonomi, atau hanya sandiwara musiman yang akan cepat berlalu?

Pada Kamis, 26 Juni 2025, data dari Refinitiv mencatat bahwa rupiah ditutup menguat 0,53 persen ke level Rp 16.200 per USD, tertinggi sejak 27 Mei 2025. Dalam sepekan, rupiah bahkan sudah menguat 1,10 persen. Sekilas tampak menggembirakan, tapi benarkah ini karena faktor fundamental dalam negeri?

Faktanya, pelemahan dolar AS secara global jadi pendorong utama. Indeks Dolar AS (DXY) justru merosot 0,46 persen ke level 97,22, akibat investor global menahan napas menanti data penting seperti PCE (Personal Consumption Expenditures)—indikator inflasi utama The Fed—dan data pertumbuhan ekonomi kuartal II AS.

Baca Juga :  Pertama Dalam Sejarah RI, Prabowo Bakal Resmikan Bank Emas Indonesia

Menurut Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, lonjakan rupiah lebih banyak dipicu faktor temporer.

“Permintaan naik karena libur panjang. Jadi ada konversi dana jangka pendek ke rupiah. Tapi untuk tren berkelanjutan? Itu bergantung hasil negosiasi fiskal AS pekan depan,” jelasnya.

- Advertisement -

Artinya, bukan karena ekonomi Indonesia membaik, tapi karena faktor eksternal sedang lemah dan publik sedang liburan.

Pasar kini juga menyoroti tenggat pembahasan anggaran dan kebijakan fiskal AS pada 9 Juli. Jika tak tercapai, kekhawatiran global meningkat dan dolar AS bisa kembali bangkit—yang artinya rupiah bakal kembali loyo.

Lebih kritis lagi, sejumlah indikator makroekonomi Indonesia belum kokoh. Mulai dari defisit transaksi berjalan, utang luar negeri, hingga ketergantungan terhadap impor bahan baku.

Baca Juga :  Prabowo: Proyeksi Goldman Sachs, Indonesia Negara dengan Ekonomi Terbesar ke-4 Dunia

Meskipun penguatan ini patut diapresiasi, sejumlah pengamat mengingatkan publik dan pelaku pasar agar tidak terlena dengan ilusi stabilitas.

“Rupiah kuat bukan berarti kita sudah menang. Kita cuma dapat waktu jeda, bukan perlindungan permanen,” ujar seorang analis senior di Jakarta yang enggan disebutkan namanya. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radarbisnis.com

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Bisnis WhatsApp Channel : https:http://bit.ly/3DonStL. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img
/