RADARBISNIS – Bursa Efek Indonesia (BEI) sebentar lagi bisa jadi arena yang lebih “serius”. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menggulirkan ide panas: free float alias porsi saham publik wajib dinaikkan jadi 40 persen. Bukan 30 persen seperti wacana sebelumnya, apalagi 7,5 persen yang sekarang jadi aturan.
Tujuannya? Sederhana tapi menohok: biar bursa lebih likuid, investor publik makin dilindungi, dan emiten tak lagi bisa seenaknya cuma jual remah-remah saham ke publik tapi tetap nikmati dana segar miliaran rupiah.
“Kalau mau main di pasar global, jangan kasih investor cuma 15–20 persen. Free float kita paling rendah di ASEAN. Minimal 40 persen, baru bursa kita punya kelas,” sindir Misbakhun, dikutip dari Bloomberg Technoz.
Kenapa 40 Persen Jadi Wacana Serius?
Banyak perusahaan—khususnya perusahaan keluarga—hanya melepas saham tipis ke publik. Kendali tetap di tangan mereka, sementara publik cuma dapat “sisa”. Bandingkan dengan Malaysia, Singapura, atau Thailand, free float mereka sudah standar 30 persen ke atas.
Dengan free float lebih besar, perusahaan dipaksa terbuka. Tata kelola, transparansi, hingga keberlanjutan usaha jadi taruhan. Investor ritel pun bisa lebih percaya, likuiditas meningkat, harga saham lebih wajar.
Insentif Pajak: Gula-Gula untuk Emiten
Pemerintah sebenarnya sudah siapkan “umpan manis”. PP 55/2022 memberi insentif potongan PPh badan 3 persen untuk emiten yang berani melepas minimal 40 persen saham ke publik. Tarif pajak mereka bisa turun dari 22 persen jadi 19 persen.
Tapi ada syarat ketat. Di antaranya, saham harus diperdagangkan di bursa, dimiliki minimal 300 investor, serta tidak boleh ada pemegang di atas 5 persen dari porsi free float itu. Artinya, kalau emiten mau hemat pajak, ya harus benar-benar berbagi kue ke pasar.
Siapa yang Deg-degan?
Bagi investor publik, ini kabar bagus. Bursa lebih likuid, proteksi lebih kuat, dan peluang price discovery makin sehat.
Tapi buat pemilik mayoritas—terutama konglomerat keluarga—ini bisa jadi mimpi buruk. Naikkan free float berarti berkurang kendali. Risiko suara publik makin keras dalam RUPS, ruang lobi makin sempit.
Vitamin atau Pil Pahit?
Kalau benar diwujudkan, free float 40 persen bisa jadi vitamin buat BEI: bursa lebih kredibel, investor global makin betah, reputasi RI naik kelas.
Tapi tanpa pengawasan ketat, aturan ini bisa jadi formalitas. Saham memang dilepas, tapi tetap dikuasai “orang dalam” lewat jaringan nominee atau afiliasi.
Intinya, free float 40 persen adalah ujian serius. Apakah pasar modal Indonesia siap naik kelas? Atau justru bikin pemilik mayoritas meriang gara-gara harus rela berbagi kuasa? (*)