30 C
Tuban
Tuesday, 29 July 2025
spot_img
spot_img

Rupiah Terpuruk Lagi, Nilai Tukar Tembus Rp 16.409, Apa Penyebabnya?

RADARBISNIS – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah tajam di tengah tekanan geopolitik global dan sentimen pasar yang terus memburuk. Pada penutupan perdagangan Selasa (29/7), rupiah ditutup anjlok 45,5 poin atau setara 0,28% ke level Rp 16.409 per dolar AS.

Pelemahan ini menjadi lanjutan dari tekanan sebelumnya di mana rupiah juga ditutup melemah 43,5 poin ke posisi Rp 16.363,5 pada Senin (28/7).

Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) turut menunjukkan penguatan sebesar 0,23% ke level 98,86, mencerminkan daya tarik greenback yang masih tinggi di tengah ketidakpastian global.

Analis keuangan senior, Ibrahim Assuaibi, menyebutkan bahwa pelemahan rupiah tak lepas dari dinamika global, mulai dari ketegangan geopolitik hingga ekspektasi kebijakan moneter The Fed.

“Kerangka kerja perdagangan AS-Uni Eropa memang sempat menenangkan pasar, dengan tarif impor diturunkan jadi 15%. Namun efek jangka panjangnya justru dikhawatirkan bisa menekan pertumbuhan dan inflasi global,” ungkap Ibrahim.

Di sisi lain, perundingan dagang antara AS dan China yang digelar di Stockholm juga belum menghasilkan kepastian. “Meski terlihat progres, tapi sentimen tetap rapuh. Investor masih berhitung potensi kenaikan tarif dasar yang justru bisa menekan margin dan ekspansi bisnis global,” tuturnya.

Baca Juga :  Melesat 1,08 Persen, IHSG Cetak Rekor Harga Tertinggi

Sentimen negatif makin diperparah oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang memberi ultimatum tegas kepada Rusia untuk menyudahi konflik Ukraina. Tenggat waktu hanya diberikan 10-12 hari, dengan ancaman sanksi berat jika tak ada progres nyata.

“Jika sanksi dijatuhkan, aliran minyak Rusia bisa terganggu. Ini berpotensi menambah tekanan inflasi global dan memicu volatilitas di pasar uang termasuk terhadap rupiah,” kata Ibrahim.

Hari ini, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) memulai pertemuan FOMC dua hari. Meskipun ekspektasi pasar mengarah pada penahanan suku bunga saat ini, pelaku pasar menanti sinyal kebijakan jangka menengah dan panduan baru terkait inflasi.

“Kalau The Fed memberi proyeksi ekonomi yang lebih hawkish, potensi kenaikan suku bunga lanjutan bisa muncul di kuartal akhir 2025,” jelasnya.

Baca Juga :  Prabowo Ingin Danantara Bergerak Cepat tapi Teliti dan Hati-Hati

Di tengah tekanan eksternal, Indonesia justru mencatatkan kabar positif dari sisi investasi. Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi kuartal II-2025 mencapai Rp 477,7 triliun, tumbuh 11,5% secara tahunan (year-on-year).

“Investasi ini menyumbang 25,1% dari target nasional 2025 sebesar Rp 1.905,6 triliun. Bahkan mampu menyerap 665.764 tenaga kerja, yang jadi penyangga stabilitas ekonomi domestik,” terang Ibrahim.

Secara rinci, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berkontribusi Rp 275,5 triliun (57,7%), sementara Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat Rp 202,2 triliun (42,3%).

Meski ada harapan dari sisi domestik, rupiah dinilai masih akan bergerak fluktuatif dalam jangka pendek. “Untuk perdagangan Rabu (30/7), diperkirakan rupiah berada di kisaran Rp 16.400 – Rp 16.450 per dolar AS,” tutup Ibrahim.

Kombinasi tekanan eksternal, ketidakpastian FOMC, hingga tensi geopolitik membuat rupiah berada di zona waspada. Meski ada angin segar dari sisi investasi, pasar tetap akan menjadikan arah kebijakan The Fed sebagai indikator utama arah rupiah ke depan. (*)

RADARBISNIS – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah tajam di tengah tekanan geopolitik global dan sentimen pasar yang terus memburuk. Pada penutupan perdagangan Selasa (29/7), rupiah ditutup anjlok 45,5 poin atau setara 0,28% ke level Rp 16.409 per dolar AS.

Pelemahan ini menjadi lanjutan dari tekanan sebelumnya di mana rupiah juga ditutup melemah 43,5 poin ke posisi Rp 16.363,5 pada Senin (28/7).

Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) turut menunjukkan penguatan sebesar 0,23% ke level 98,86, mencerminkan daya tarik greenback yang masih tinggi di tengah ketidakpastian global.

Analis keuangan senior, Ibrahim Assuaibi, menyebutkan bahwa pelemahan rupiah tak lepas dari dinamika global, mulai dari ketegangan geopolitik hingga ekspektasi kebijakan moneter The Fed.

“Kerangka kerja perdagangan AS-Uni Eropa memang sempat menenangkan pasar, dengan tarif impor diturunkan jadi 15%. Namun efek jangka panjangnya justru dikhawatirkan bisa menekan pertumbuhan dan inflasi global,” ungkap Ibrahim.

- Advertisement -

Di sisi lain, perundingan dagang antara AS dan China yang digelar di Stockholm juga belum menghasilkan kepastian. “Meski terlihat progres, tapi sentimen tetap rapuh. Investor masih berhitung potensi kenaikan tarif dasar yang justru bisa menekan margin dan ekspansi bisnis global,” tuturnya.

Baca Juga :  Gawat, The Fed Isyaratkan Tak Turunkan Suku Bunga, Dolar Melesat Dekati Rp 16.000

Sentimen negatif makin diperparah oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang memberi ultimatum tegas kepada Rusia untuk menyudahi konflik Ukraina. Tenggat waktu hanya diberikan 10-12 hari, dengan ancaman sanksi berat jika tak ada progres nyata.

“Jika sanksi dijatuhkan, aliran minyak Rusia bisa terganggu. Ini berpotensi menambah tekanan inflasi global dan memicu volatilitas di pasar uang termasuk terhadap rupiah,” kata Ibrahim.

Hari ini, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) memulai pertemuan FOMC dua hari. Meskipun ekspektasi pasar mengarah pada penahanan suku bunga saat ini, pelaku pasar menanti sinyal kebijakan jangka menengah dan panduan baru terkait inflasi.

“Kalau The Fed memberi proyeksi ekonomi yang lebih hawkish, potensi kenaikan suku bunga lanjutan bisa muncul di kuartal akhir 2025,” jelasnya.

Baca Juga :  Nilai Tukar Rupiah Sore Ini, Selasa 17 September 2024

Di tengah tekanan eksternal, Indonesia justru mencatatkan kabar positif dari sisi investasi. Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi kuartal II-2025 mencapai Rp 477,7 triliun, tumbuh 11,5% secara tahunan (year-on-year).

“Investasi ini menyumbang 25,1% dari target nasional 2025 sebesar Rp 1.905,6 triliun. Bahkan mampu menyerap 665.764 tenaga kerja, yang jadi penyangga stabilitas ekonomi domestik,” terang Ibrahim.

Secara rinci, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berkontribusi Rp 275,5 triliun (57,7%), sementara Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat Rp 202,2 triliun (42,3%).

Meski ada harapan dari sisi domestik, rupiah dinilai masih akan bergerak fluktuatif dalam jangka pendek. “Untuk perdagangan Rabu (30/7), diperkirakan rupiah berada di kisaran Rp 16.400 – Rp 16.450 per dolar AS,” tutup Ibrahim.

Kombinasi tekanan eksternal, ketidakpastian FOMC, hingga tensi geopolitik membuat rupiah berada di zona waspada. Meski ada angin segar dari sisi investasi, pasar tetap akan menjadikan arah kebijakan The Fed sebagai indikator utama arah rupiah ke depan. (*)

Untuk mendapatkan berita-berita terkini Radarbisnis.com

Ikuti Kami:
Telegram: t.me/radartuban
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Radar Bisnis WhatsApp Channel : https:http://bit.ly/3DonStL. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img
spot_img
/